VENEWS.ID – Makanan khas Indonesia selalu disajikan untuk jemaah haji Indonesia di Marmara Hotel Hilton Madinah. Namun, beberapa hari lalu sajian makan malam nampak berbeda dari biasanya.
Ada yang istimewa saat makan malam di Restoran Marmara Hotel Hilton Madinah. Di antara deretan menu tradisional nusantara seperti tunjang, soto ayam, dan ikan bakar, bahkan ada makanan dari Palembang yakni pempek.
Menu olahan daging ikan yang dicampur tepung tapioka atau sagu ini bukan buatan dari dua chef kawakan di Hilton, Muslim (32) dan Pipiet Purwanto (50), melainkan oleh-oleh yang disedekahkan seorang jemaah.
“Itu saya bawa sendiri dari Palembang, mereknya King yang sudah lama menjadi langganan kami. Jumlahnya 100 buah,” kata Pelantun lagu Kecapi Makanan Kero (Pada programnya pada masa jabat Kapolda Sumsel yang terkenal sebutan Mang Pedeka) bersama jemaah paket Al Fath Maktour kepada wartawan Ahad 2/06/2024 Pukul 09. Waktu Saudi Arabia
Jemaah Maktour di restoran Marmara Hotel Hilton Madinah
Mantan Kapolda Sumsel ini ternyata membawa serta pempek ke dalam bagasi agar tidak memicu bau amis yang khas, pempek jenis adaan, telor kecil, kulit dan lenjer itu kardusnya divakum sedemikian rupa.
“Selain tidak menimbulkan bau khas, pempeknya divakum,” ujarnya.
Meski jumlahnya mencapai 100 buah tentu tak semua Jemaah kebagian sajian khas yang terbuat dari adonan ikan dan sagu itu. Maklum, beberapa Jemaah terlihat sangat antusias untuk mencomotnya lebih dari 2 potong. Rata-rata Jemaah mengaku puas dengan rasa pempek King tersebut.
“Ini bikin kangen kampung halaman. Apalagi pas menghirup cukanya asli wong kito galo. Pempek kulitnya lezat, nambah terus,” kata Andromeda Mercury salah satu presenter TV di Indonesia.
Begitu juga dengan pengakuan Iqbal Arief Ismail yang berasal dari Bukit tinggi.
“Pempeknya crunchy, gurih, campuran ikannya cukup kuat. Apalagi cukonya, manis pedasnya bikin nagih,” ungkapnya.
Menurut buku ‘Teks Bacaan Berbasis Budaya Lokal Sumatera Selatan Bagi Siswa Sekolah Menengah Kejuruan’ karya Rita Inderawati dkk, pempek dikenal di Palembang seiring masuknya perantau Tionghoa pada sekitar abad ke-16 di masa Sultan Badaruddin II.
Pada masa tersebut, makanan ini disebut dengan ‘kelesan’ yakni biasa disajikan dalam acara adat di dalam Rumah Limas. Diberi nama kelesan mengacu kepada alat untuk menghaluskan daging ikan.
Awalnya, pempek dibuat oleh orang asli Palembang yang kemudian dititipkan ke orang Tionghoa untuk dijual. Pempek tersebut mulai dijual oleh orang-orang China pada tahun 1916 dengan cara dijajakan sambil keliling dari kampung ke kampung dengan berjalan kaki.
Biasanya, jajanan tersebut dijual di kawasan keraton, yang saat ini adalah kawasan Masjid Agung dan Masjid Lama Palembang.
Penamaan nama pempek berasal dari nama panggilan oleh pembeli kepada si penjual kelesan yang dipanggil dengan ’empek’ atau ‘apek’ yang dalam bahasa China berarti “paman”.
Para pembeli memanggil penjual kelesan tersebut dengan memanggil ‘Pek, empek’ yang akhirnya dikenal sebagai pempek dan bertahan hingga sekarang.(ril)