Drs. Syaifudin Zakir, M.Sc (Dosen Prodi Administrasi Publik Fisip Unsri)
VENEWS — Transportasi darat masih menjadi tulang punggung mobilitas nasional, menghubungkan manusia, barang, dan jasa di seluruh penjuru negeri.
Namun, di balik peran vitalnya, sektor ini juga menyimpan tantangan besar: kontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca.
Menurut laporan _Institute for Essential Services Reform (IESR)_ yang dirilis awal tahun ini, transportasi darat menyumbang sekitar 24,6% dari total emisi nasional pada tahun 2024.
Angka ini menjadikan sektor transportasi sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar di Indonesia, terutama akibat tingginya ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi berbahan bakar fosil.
Kondisi ini diperparah oleh kemacetan yang semakin parah di kawasan perkotaan, polusi udara yang memburuk, serta meningkatnya konsumsi energi tak terbarukan.
Dampaknya tidak hanya dirasakan pada lingkungan, tetapi juga pada kesehatan masyarakat dan efisiensi ekonomi.
Pemerintah Dorong Transportasi Berkelanjutan
Menjawab tantangan tersebut, pemerintah bersama berbagai pemangku kepentingan mulai mengarahkan fokus pada pembangunan ,transportasi berkelanjutan. Agenda ini mencakup:
Pengembangan transportasi publik,0 yang terintegrasi dan ramah lingkungan, seperti kereta listrik, bus rapid transit (BRT), dan kendaraan berbasis energi terbarukan.
Insentif untuk kendaraan listrik,termasuk subsidi pembelian dan pembangunan infrastruktur pengisian daya.
–Revitalisasi jalur pedestrian dan sepeda,untuk mendorong mobilitas non-motorik yang sehat dan rendah emisi.
Menteri Perhubungan menyatakan bahwa pembangunan transportasi berkelanjutan bukan hanya soal teknologi, tetapi juga perubahan perilaku.
Meski arah kebijakan sudah jelas, tantangan implementasi masih besar.
Mulai dari keterbatasan anggaran, resistensi masyarakat terhadap perubahan, hingga perlunya sinergi lintas sektor.
Namun, dengan komitmen yang kuat dan partisipasi aktif masyarakat, transformasi ini diyakini dapat membawa dampak positif jangka panjang.
Transportasi berkelanjutan bukan sekadar solusi teknis, melainkan langkah strategis menuju masa depan yang lebih bersih, sehat, dan adil. Di tengah krisis iklim global, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pelopor mobilitas hijau di kawasan Asia Tenggara.
Pemerintah Indonesia terus memperkuat komitmennya dalam mewujudkan sistem transportasi berkelanjutan melalui pendekatan strategis yang dikenal sebagai Avoid–Shift–Improve (ASI).
Strategi ini menjadi kerangka utama dalam upaya menekan emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi, yang menurut laporan _Institute for Essential Services Reform (IESR)
Tiga Pilar Strategi ASI
1. Avoid (Menghindari)
Fokus pada pengurangan kebutuhan perjalanan melalui perencanaan kota berbasis *Transit-Oriented Development (TOD).
Konsep ini mendorong pembangunan kawasan yang terintegrasi dengan transportasi publik, sehingga masyarakat tidak perlu bergantung pada kendaraan pribadi.
2. Shift (Mengalihkan)
Mendorong peralihan dari kendaraan pribadi ke moda transportasi publik yang lebih ramah lingkungan, seperti bus listrik, kereta, dan sistem angkutan massal lainnya.
3. Improve (Meningkatkan
Meningkatkan efisiensi kendaraan melalui teknologi rendah emisi, termasuk adopsi kendaraan listrik dan sistem manajemen transportasi berbasis digital.
Inisiatif Transportasi Berkelanjutan di Berbagai Kota
Sejumlah kota di Indonesia telah mengimplementasikan strategi ASI melalui berbagai inovasi transportasi:
-TransJakarta
Jakarta kini memiliki sistem Bus Rapid Transit (BRT) terpanjang di dunia dengan total rute mencapai *251,2 km.
Sistem ini terintegrasi dengan MRT, LRT, dan Commuter Line, serta mulai mengadopsi armada bus listrik.
Kereta Cepat Whoosh Jakarta–Bandung
Sebagai kereta cepat pertama di Asia Tenggara, Whoosh mampu memangkas waktu tempuh Jakarta–Bandung menjadi hanya 40–45 menit, dengan kecepatan hingga 350 km/jam.
Sistem ini juga terintegrasi dengan moda transportasi lain melalui konsep TOD di stasiun-stasiunnya.
– Trans Semanggi Suroboyo (Surabaya)
Surabaya mengembangkan sistem *Teman Bus* dengan armada listrik dan tarif terjangkau. Program ini melayani enam koridor dan menjadi bagian dari transformasi transportasi publik berbasis energi bersih.
– Transmusi (Palembang)
Palembang mengoperasikan sistem BRT yang terintegrasi dengan LRT Sumatera Selatan. Layanan ini menggunakan sistem pembayaran non-tunai dan terus diperluas untuk menjangkau wilayah pinggiran.
– TransJogja (Yogyakarta)
Yogyakarta memiliki sistem BRT dengan *20 koridor dan lebih dari 450 halte*, melayani mobilitas masyarakat dan wisatawan dengan tarif ekonomis serta sistem pembayaran digital.
Kesimpulan
Pembangunan transportasi berkelanjutan di Indonesia sejatinya telah menapaki jalur positif—dengan infrastruktur seperti TransJakarta, Whoosh, proyek Bali E-mobility, dan inovasi seperti Jaklinko.
Namun, tantangan besar masih membentang: infrastruktur belum merata, biaya investasi tinggi, serta kurangnya edukasi publik.
Untuk mendorong transisi yang nyata dan berkelanjutan, kita perlu menerapkan strategi pencapaian dengan konsisten, memperluas insentif dan kolaborasi, serta meningkatkan akses dan preferensi terhadap transportasi secara berkelanjutan.
Dengan tekad dan sinergi lintas pemangku kepentingan, transportasi berkelanjutan bisa menjadi fondasi mobilitas dan kebijakan publik masa depan yang bersih, efisien, dan inklusif di Indonesia.